Bersamaan dengan perayaan Hari Bumi 22 April 2018, kali ini
mari kita membahas static-earth and it’s dynamic-life.
Bumi yang masih tetap dengan gunung yang menjulang, tebing yang lancip, gua
yang mencekam, laut yang dalam, serta palung yang penuh misteri ternyata harus
merelakan predikatnya dari “keindahan tak terjamah” menjadi “keindahan yang
terekspos”. Tapi tak perlu khawatir, bumi beserta keindahannya tak berubah,
hanya kehidupan di dalamnya yang berubah.
Cobalah jelajahi postingan saya yang lalu, maka Sobat akan
menemukan tips dan trik yang diperuntukkan bagi para pecinta alam. Dimulai dari
tutorial membuat harness dari webbing, penjelasan tentang beberapa peralatan
pendakian, hingga materi survival. Tulisan-tulisan itu saya post 4-5 tahun yang
lalu, dan hingga sekarang masih kerap diakses oleh pembaca. Apa artinya ini?
Disaat perkembangan teknologi yang makin pesat tiap harinya, ternyata hal
semacam ini masih diminati oleh beberapa orang. Disaat telah banyak foto-foto
alam yang bebas untuk diakses, ternyata masih banyak orang yang ingin melihat
secara langsung. Hal ini menandakan bahwa teknologi belum bisa memberikan
esensi yang sama seperti apabila kita melakukan hal itu sendiri. Ada hal yang
menarik tentang revolusi dalam dunia yang saya sebut sebagai “pecinta alam”. Tahun 2013, Instagram
resmi diluncurkan dan kamera bukan lagi merupakan hal yang langka, dokumentasi
orang-orang yang sedang melakukan penjelajahan turut menjadi hal yang biasa,
dan cenderung menjadi objek untuk dipamerkan, seakan merubah citra “pecinta
alam” menjadi “penikmat alam yang egois”. Tak ayal, berdasarkan studi yang
dilakukan oleh Carnegie Melon University, hingga Maret 2014 tercatat telah
terjadi 127 kematian yang diakibatkan swafoto di tempat-tempat yang ekstrim.
Swafoto Erri Yunanto di Puncak
Garuda Gunung Merapi
Melihat kejadian ini, terlintas pertanyaan apakah teknologi
membawa dampak negative dalam hal eksplor alam?
. If the sight is the most important thing, let the drone
do it!
Kemajuan teknologi yang serba otomatis telah memungkinkan
pengambilan citra tidak hanya melalui drone, melainkan juga melalui satelit
yang tentu jangkauannya lebih luas. “Seperti apa puncak Everest?” Pertanyaan
ini kerap kali muncul setelah mengetahui nama gunung tertinggi di dunia. Tahun
1953, Hillary dan Tenzing Norgay berhasil menaklukkan gunung Everest, sehingga
mendorong ribuan pendaki lain untuk turut menginjak tanah tertinggi di bumi
ini. Namun akibat oksigen dan tekanan yang ekstrim, tercatat telah 200 pendaki
yang menjadi korban keganasan gunung berjubah salju ini. Tapi kabar baik bagi
kalian yang sekadar penasaran tentang seperti apa pemandangan dari atas
Everest, maka kalimat ini cocok untuk kalian; “Ayo browsing untuk melihatnya!”
Untuk kalian yang ingin merasakan petualangan dan ingin
benar-benar bersatu-rasa dengan gunung ini, maka “Ayo ke sana untuk
merasakannya!”, tentunya dengan membekali diri dengan life-skill tertentu yang
kiranya diperlukan dalam melakukan ekspedisi.
. Which one is alternative? Technology or Life-Skill?
Teknologi memang diperuntukkan untuk mempermudah pekerjaan
manusia, namun apa jadinya apabila seseorang hanya bergantung pada teknologi
yang rentan rusak? Contoh kecil pada penggunaan GPS. Dizaman saat GPS telah
mencakup semua titik di bumi, seluruh kegiatan navigasi dititikberatkan pada
pengembangan GPS. Lalu bagaimana jika berada di daerah terisolir belantara dan
tanpa diharapkan alat mengalami kerusakan? Maka mari merogoh tas untuk kemudian
bermain dengan kompas.
Jadi yang mana sebagai alternative? Teknologi atau life-skill? Kembali ke kalimat awal, teknologi hanya diperuntukkan untuk mempermudah, bukan menggantikan. Jadi mengasah kemampuan diri tetap menjadi nomor 1.
Dengan pembahasan singkat di atas, dengan semangat perayaan Hari Bumi 2018, mari tidak memicingkan mata terhadap perkembangan teknologi buatan yang kontras dengan bumi yang natural. Sobat boleh saja menggunakan teknologi, namun jangan serta-merta bergantung kepadanya, tetap unggulkan life-skill, in case teknologi Sobat tiba-tiba error.